W E L C O ME TO H E R R Y B L O G

Sabtu, 06 Maret 2010

cerita rakyat kab. Ende

LEGENDA ASAL MULA PADI
Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu dibawah lereng keli Nida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya. Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun tertangkap dalam keadaan bersimba dara akibat terkenah senjata tajam. Lalu oleh masyarakat, kedua anak itu dibawa ke puncak Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yang yatim piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun, setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki, "Tuan Tanah" beserta seluruh warga kampung semakin gelisah. Mereka semua khawatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali. Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk menengok kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena Hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi. Walaupun demikian, setiba mereka semua di kampung, tidak seorangpun yang berani menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil. Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena Ia juga takut mati. Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biii-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.
Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dipestasyukurkan secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya diawali dengan remba ngenda (sumber: Mbete, 1992:13-15; Orienbao, 1992:120-123). Dari berbagai versi sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dll), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Kelinida yang menjadi saksi sejarah juga disebut kelindota. Disebut Keli Ndota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio.
Perlu diutarakan bahwa selain versi Bobi dan Nombi di atas, masih ada juga versi Ine Pare yang lainnya. Versi bahasa Indonesia ini diterjemahkan dan diringkas dari teks Bobi no'o Nombi edisi bahasa Lio, berbentuk puisi sebanyak enam puluh satu bait karya Mbete (1992). Mitos adalah sastra dan juga sejarah suci yang melandasi kesadaran dan kepercayan kolektif (Dhavamony, 1998:152-153), dalam hal ini sejarah suci dan sastra suci Lio-Ende. Makna yang ada di baliknya adalah bahwa sesuatu yang memiliki nilai tinggi, misalnya nasi, beras, atau Padi dalam komposisi dan pola makanan suatu komunitas etnik tertentu, atau yang secara sosio-fungsional mengandung makna dan nilai tertentu, menjadi simbol dan reprentasi nilai dasar berkorban dan pengorbanan bagi sesama. Dalam konteks ini, pengorbanan yang dimaksudkan adalah pengorbanan sepasang manusia, Bobi dan Nombi, yang rela dibunuh dan dicincang atas dasar fitnahan melakukan perbuatan mesum kendati belum dapat dibuktikan oleh hukum dan peradilan adat. Pengorbanan jiwa-raga mereka dalam konteks mitos ini, yang melalui penjelmaan mistis, jelas dimaknai sebagai berkorban demi kehidupan orang banyak yang kelaparan karena kemarau panjang.
Baik pada versi Bobi dan Nombi maupun versi Ine Mbu, terkandung ideologi atau nilai filosofi dasar kehidupan manusia, dengan pengorbanan menjadi inti pesan, Ideologi itulah yang menjadi dasar atau inti makna dari mitos itu. Dalam kaitan dengan ritual perladangan, teks di atas secara tersurat menyatakan amanat yang terpenting bagi komunitas peladang Lio-Ende. Inti pesannya adalah bahwa sebelum menanam padi, hendaklah ada ritual atau upacara khusus, upacara dengan darah ayam atau hewan korban lainnya yang layak. Dalam persiapan pelaksanaan ritual itu, khususnya ritual penanaman padi ladang, hendaknya batu lambang kesuburan, watu wini digunakan bersama emas dalam wadah benih padi ladang itu.
Selain amanat tentang upacara dan peralatan upacara penanaman padi, batu kesuburan dan emas untuk "dicampurkan"dalam benih padi, yang diwadahi dengan benga, ada pula amanat lain sebagaimana tertera dalam teks di atas. Amanat yang dimaksudkan itu adalah bahwa bagi semua pewaris dan keturunan antargenerasi, pi welu pi hendaklah saat melaksanakan tahapan upacara itu: mulai tahapan penanaman, tahapan pemeliharaan atau panen perdana, dan tahapan pemanenan akhir, secara tegas diperintahkan agar upacara itu dilakukan secara teratur setiap tahun sesuai dengan tata cara atau prosedur tetap dan baku . Upacara atau ritual padi itu dimaksudkan dan ditujukan untuk mengenang dan menghormati Bobi dan Nombi atas jasa-jasa dan terutama pengorbanan mereka. Mereka dengan rela dan ikhlas, kendati difitnah, dibunuh dan dicincang, hancur, dan "menjelma" serta bertumbuh menjadi tanaman padi; tanaman yang kemudian dapat dibudidayakan, dikembangbiakkan, dan terutama menjadi makanan pokok bergizi tinggi yang paling lezat di antara makanan lainnya. Lebih daripada itu, makanan itu pula yang memiliki fungsi dan nilai sosial-budaya tertinggi bagi komunitas peladang Lio-Ende. Gambaran Singkat tentang Ritual Perladangan Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, padi dan sejumlah tanaman biji-bijian adalah tanaman liar musiman atau tahunan yang berasal dari Cina tengah ( Bellwood , 2000: 353). Kajian varietas modern memperiihatkan bahwa padi memiliki kepekaan terhadap panjang-pendeknya siang (photoperiod) dan kekuatan sinar matahari (0ka, 1988, dalam Bellwood , 2000). Dengan demikian pembudidayaannya, khususnya penanaman disesuaikan dengan kondisi klimatologisnya. Selain dimensi alam, bagi komunitas peladang Lio-Ende, penanaman padi khususnya, dan semua tanaman hortikultura asli umumnya, tidaklah dilakukan begitu saja ketika datang musim hujan. Berdasarkan amanat di ataslah mereka selalu taat melakukan ritual-ritual dalam lingkaran hidup perladangan, seperti juga dalam lingkaran hidup manusia sejak lahir, dewasa, menikah, dan meninggal kendati ritual dalam kehidupan manusia dewasa ini sudah semakin sirna.
Dalam masyarakat adat dan kebudayaan Lio-Ende, ritual adat, baik dalam lingkaran hidup manusia maupun lingkaran hidup perladangan, ritual sebagai konsep budaya diekspresikan atau diungkapkan secara verbal nggua bapu. Mbete et.al (2006) secara singkat telah memperkenalkan dan memerikan sejumlah ritual, upacara, dalam kehidupan masyarakat Etnik Lio-Ende. Dalam lingkaran dan peredaran tahun adat, tata waktu juga ada dalam kalender adat dengan pilahan waktu dalam satuan bulan. Pembagian waktu dengan satuan bulan itu tetap berkaitan dengan kosmologi mereka, dengan alam (tana watu), musim hujan dan musim panas sehingga bulan dan matahari tetap menjadi patokan waktu. Kendati banyak perubahan, pada dasarnya pelaksanaan ritual perladangan masih tetap ada dalam kehidupan perladangan masyarakat Lio-Ende. Sumber dan landasan ideologi kolektif mereka, demikian juga amanat leluhur mereka tetap dimiliki dan diyakini, setidak-tidaknya oleh generasi tua dan kalangan elite tradisional yakni para Mosalaki. Landasan ideologis ritual perladangan khususnya memang berkaitan dengan filsafat hidup yang bersifat kosmologis, Alam, khususnya lahan 'tana watu' dalam arti khusus adalah kekuatan dan sumber daya yang harus dipelihara dan dihormati, apalagi dalam persepsi masyarakat setempat, Tana-Watu adalah simbol atau tanda persekutuan yang mesrah antara tana ‘tanah’ dan watu ‘batu’, masing-masing sebagai simbol perempuan (tana) dan laki-laki (watu) dalam paduan Tubumusu Lodonda. Itulah juga sebabnya, tanah atau lahan garapan dipelihara sebaik-baiknya. Alam dengan sumberdaya adalah kekuatan yang bersifat "adikodrati", melampaui kekuatan manusia dan merupakan pancaran kekuatan dan kemahakuasaan Du'a Ngga'e, Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana. Selain berkaitan dengan amanat dalam mitos Ine Pare, ritual perladangan justru berkaitan dengan kedahsyatan kekuatan dan kekuasaan Du'a Ngga'e dengan sejumlah sapaan lokal. Dalam konteks ini, setelah penghormatan dan pemeliharaan keserasian hubungan dengan Sang Khalik, Du'a Ngga'e, dan dengan para leluhur, Embu Mamo Ku Kajo dalam dimensi vertikal, di sisi lain pemeliharaan dan pemulihan hubungan dengan sesama dalam dimensi horizontal (soliditas, integritas, dan solidaritas kelornpok kekerabatan), merupakan makna dan fungsi dasar ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional Lio-Ende.
Ritual perladangan berlangsung beberapa kali dalam setahun, berawal dari pembukaan hutan untuk ladang baru (ngeti uma atau Pura uma ndu'a), penolakan bala (hama dan penyakit, joka ngola atau joka ju), penanaman perdana, panen perdana, syukur keberhasilan panen, yang di antaranya juga diselingi dengan ritual-ritual khusus yang bervariasi antar sub etnik atau antarwilayah tanah ulayat. Berkaitan dengan mitos di atas, makna, prosedur, dan sarana atau perlengkapan utama memang harus dipenuhi dan prodedurnya dipatuhi. Sehubungan itu, batu kesuburan sebagai penerusan tradisi megalitik dan penggunaan emas, merupakan keharusan dalam ritual perladangan itu. Prosedur dan tata cara memang dipedomani oleh para mosalaki sesuai dengan struktur dan fungsi masing-masing. Keabsahan ritual justru di prasyaratkan dengan penggunaan benda-benda tersebut selain tata urut yang baku . Budaya Perladangan dan Khazanah Hortikultura Budaya Perladangan Sekilas Lintas Seperti telah diuraikan secara singkat di atas, lebih dari 85% masyarakat Lio-Ende umumnya adalah petani (RPJM Kabupaten Ende, 2006), dan sebagian besarnya adalah peladang. Mengolah lahan dalam konteks budaya perladangan oleh komunitas peladang Lio-Ende dikenal dengan ungkapan Kema Bene atau Gaga Bene. Lebih luas lagi kultur perladangan yang menggunakan sistem terpadu (integrated system) dengan adanya beternak ayam, babi, kambing itu ditopang oleh nilai-nilai dan etos kerja yang terwaris antargenerasi. Nilai-nilai dan etos kerja itu tersirat dalam ungkapan paralelisme: Gaga bo'o kewi ae, kema noe wesi nuwa "keberhasilan berladang dan mengolah nira, budi daya ladang dan keberhasilan beternak", sedangkan etos kerja tersirat di balik ungkapan: (muri dau kema) raka (h)kungu dubu raka lima bita (hidup harus bekerja) hingga tangan berlumpur dan kuku menumpul). Selanjutnya, dalam menggunakan waktu secara efektif, hendaklah poa buga mila walo "bekerjalah sepagi dini hingga sore hari". Ungkapan yang menyiratkan etos kerja itu memang dewasa ini lebih dikenal oleh generasi tua, apalagi etos kerja itu selalu mengacu pada perladangan atau pertanian yang sudah mulai kurang diapresiasi oleh kaum muda. Perubahan memang telah terjadi, dalam arti nilai kerja ladang bergeser dari sebagian generasi muda Lio-Ende, namun, sumber daya ladang itu tetap menjadi andalan selain penyediaan lapangan kerja alternatif baru hasil pendidikan. Ladang atau lebih akrab disebut uma (huma), jamaknya uma-rema, sampai kapanpun tetap menjadi andalan masyarakat di Kabupaten Ende bahkan juga sebagian besar masyarakat Nusantara. Mereka tetap mengolah lahan di tanah-tanah warisan leluhur mereka. Ladang mereka bermula dari lahan atau kaplingan (ngebo) yang dihutankan selama empat-lima tahun setelah menjadi uma, ditanam dengan padi, jagung, sorgum, kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan setelah tiga-empat kali ditanam, dihutankan kembali. Hortikultura, dengan tetap menjadikan padi ladang sebagai tanaman utama itulah yang selalu diupacarakan pada setiap tahapannya sejak pembukaan hutan pertama kali. Pada umumnya para peladang Lio-Ende hingga kini tetap mengolah ladang dan membudidayakan padi, jagung, dan sorgun. Ketiga tanaman itu, selain ubikayu dan pisang menjadi makanan pokok, di samping jewawut dan kacang-kacangan serta umbi-umbian (uwi, rose, suja, ndelo) dan sebagainya. Singkong, ketela pohon, atau ubikayu, dalam sejumlah varietasnya pada umumnya menjadi tanaman penutup sebelum dihutankan kembali. Tanaman tahunan seperti kelapa (nio) dan enau (moke) penghasil gula aren dan arak (moke dan tutu moke) juga menjadi sumber daya pangan dan ekonomi pula. Baik kelapa maupun enau menjadi tanaman penghasil pangan dan komoditas yang cukup dapat diandalkan jika dibudidayakan dengan menggunakan teknologi. Khazanah Tanaman Hortikultura Lio-Ende Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan sejumlah peladang tua di lapangan, diperoleh informasi bahwa tanaman semusim, baik padi ladang, jagung, sorgum, maupun aneka kacang-kacangan, dulu banyak varietas atau jenisnya. Namun, kini banyak di antara tanaman itu yang sudah menghilang dari ladang. Jewawut, wete, sudah menghilang dari ladang-ladang, padahal jewawut dulu menjadi tanaman "penjaga atau pengawal dari gangguan hama " bagi tanaman utama padi ladang bersama wijen putih dan hitam (doba dan lenga). Wijen adalah bahan pembuat sambal dan pelapis kue yang cukup potensial menjadi komoditas. Patut disayangkan karena perubahan pola tanaman itu telah menghilangkan jenis-jenis tanaman tersebut. Demikian juga dulu, selain ketela pohon, sejumlah jenis umbi-umbian yang lesat (uwi dalam aneka jenisnya) yang merupakan cadangan pangan dan menjadi isi lumbung dalam tanah, kini mulai menghilang, kecuali keladi yang masih tampak merana. Hadirnya tanaman komoditas baru (cengkeh, kakao, kemiri, vanili) dan kebijakan pangan nasi nasional telah mengubah pola tanam masyarakat lokal di Kabupaten Ende. Jatah beras orang miskin, raskin, lebih memanjakan lagi Orang Lio-Ende, khususnya generasi muda. Sebelum memapark aneka jenis dan varietas tanaman hortikultura asli, padi ladang sebagai primadona tanaman perladangan tradisional yang padat ritual dan sarat makna itu perlu dijelaskan secara khusus, Terlepas dari mitos yang diyakini oleh komunitas peladang Lio-Ende, padi ladang Lio memang merupakan fenomena kultural yang menarik untuk dikaji. Seperti yang diuraikan oleh Sarenbao (1992), wilayah Lio, memang dihipotesiskan menjadi asal-muasal tanaman padi ladang. Kendati bersifat mitis, realitas di lapangan dapat dijadikan dasar untuk memperkuat derajat kebenaran pernyataan itu. Budaya dan budi daya padi ladang di Lio, tergolong tua budaya padi itu, dapat dimaknai dari rumitnya ritual padi sebagai tanda penghormatan dan atau penghargaan pada jenis tanaman karena memang menjadi makanan pokok urutan teratas. Menikmati nasi sebagaimana juga banyak bangsa di dunia, tidaklah hanya demi kepenuhan kalori dan gizi. Menikmati nasi memberikan kepuasan tertinggi, apalagi dalam konteks sosial-budaya. Betapa tingginya posisi nasi dari beras yang juga harus ditumbuk tangan (manual), bukan penyosohan, dan berasal dari padi ladang asli, itulah yang paling layak disuguhkan saat ritual pati ka, "upacara pemberian santapan khusus bagi leluhur ketika ada pesta adat". Hal yang sama dalam kehidupan sosial, juga hanya nasi pula yang layak disajikan kepada tamu agung.
Padi ladang memang menempati tempat terhormat dalam konteks perladangan sebagaimana saratnya nilai ritual yang disandangnya. Ritual perladangan tetap berpusat pada padi ladang asli milik warga komunitas peladang Lio-Ende. Benih padi yang akan ditanam, wini pare, sebelum ditanam harus disandingkan dengan emas, sebagaimana amanat mitos Ine Pare dalam sastra suci Bobi dan Nombi. Saat menanam pun diperlakukan dan disikapi dengan penuh hormat. Sikap ini jelas sangat berbeda ketika peladang menanam jagung, kacang, dan tanaman-tanaman pengiring lainnya. Sebagai pusat dan lokasi asal-muasal padi lokal, kenyataan di dalam perladangan dan komunitas peladang Lio pun mendukung kebenaran pernyataan tersebut. Dalam konteks perladangan Lio, varietas padi ladang cukup banyak. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, ada belasan jenis padi lokal. Berikut nama-nama jenis padi ladang asli yang dimaksudkan itu. Ada (1) pare ndale, (2) pare rebo (induk padi khusus bagi para tetua adat, mosalaki), (3) pare laka, (4) pare menge, (5) pare Jcobo mota, (6) pare taki, (7) pare mufa lo'o, (8) pare mufa ria, (9) pare maru, (10) pare kea, (11) pare mboka rawa, (12) pare nggondo, (13) pare ndota, (14) pare sera, (15) pare kaja, dan (16) pare raja, Baik bentuknya, karena ada yang bulat, bulat panjang, dan bulat lonjong, pipih, dan di antaranya berekor, maupun aroma rasanya juga berbeda-beda. Disebut pare menge misalnya karena rasa nasi dari jenis ini sangat gurih dan lezat, seperti halnya juga pare maru. Jenis pare menge inilah yang sudah dibudidayakan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ende sejak beberapa tahun silam. Di sisi lain, jenis pare maru dijadikan juga seni wena, yaitu jenis bibit padi yang ditanam di pangkal ladang. Selain ke-16 jenis itu, diduga masih ada jenis varietas yang belum diidentifikasi lebih lanjut. Banyaknya jenis padi ini dapat dihipotesiskan sebagai hasil persilangan antarjenis secara alamiah sehingga menghadirkan jenis-jenis varietas sebanyak itu. Pembiakan alamiah itu jelas terjadi jika di suatu lokasi memang tersedia lebih dari dua varietas.
Pengenalan atau tingkat kedekatan serta perlakuan teradap varietas padi ladang juga berbeda-beda. Hal ini terkait dengan klen atau keluarga batih. Dalam komunitas peladang Lio, setiap klen (Clan) hanya boleh menanam satu jenis padi utama, selain seniwena. Yang dimaksudkan ialah bahwa suatu keluarga besar atau keluarga batih, hanya memilih varietas satu jenis padi saja sebagai bibit (wini) misalnya pare laka saja, atau pare ndale saja untuk dijadikan benih padi turun-temurun. Penggantian bibit atau wini haruslah dengan ritual tertentu. Dalam kepercayaan komunitas peladang Lio, jika (1) tanah atau lahan subur misalnya pada penanaman perdana atau tahun pertama setelah pembukaan hutan baru, yang dalam ungkapan setempat dikenal dengan uma ndu'a dan (2) hujan pun turun secara teratur dan memadai, namun terjadi gagal panen, misalnya kena hama dan penyakit, kegagalan itu selalu dikaitkan dengan kesalahan prosedural adat penanaman, atau ada sebab-sebab lainnya. Tidak hanya padi lokal asli yang banyak jenisnya. Sorgum pun demikian. Sorgum atau juga disebut jagung solor, karena diduga berasal dari Pulau Solor (Lembata), yang dalam bahasa Lio disebut lolo, juga banyak varietasnya yakni: (1) lolo telo leko, (2) lolo kowe, (3) lolo mite, (4) lolo poe, (5) lolo wete, (6) lolo pega, dan (7) lolo nggalo (lolo mera). Jagung atau jawa dalam bahasa Lio-Ende, juga ada beberapa jenis: jawa nggela, jawa taki, jawa polo, jawa lo'o (berumur dua bulan dan ditanam di sekitar batang kayu yang sudah lapuk atau hangus), dan jawa moni. Sorgum dan jagung adalah tanaman pelindung dan pendamping padi ladang pula. Jikalau jagung ditanam paling awal, tentunya setelah ritual po'o, sorgum (lolo) ditanam serempak dengan padi ladang bahkan benihnya (wini) dibaurkan bersama benih padi ladang dalam ukuran tertentu. Bersama padi ladang itulah padi dan sorgum ditanam atau ditugal sekaligus dalam satu lubang. Jikalau jagung dipanen lebih awal karena memang ditanam terlebih dahulu setelah remba dalam ritual sepa atau pesa uta, sorgum justru dipanen pada urutan terakhir. Selain batangnya memang lebih tinggi dan lebih besar, tanaman ini juga menjadi pelindung dan pengaman padi yang dipanen terlebih dahulu. Setelah panen padi dan sorgum, dan jikalau hujan musim kemarau turun agak teratur, biasanya para peladang menanam, tedo, kembali jagung musim panas (jawa leja). Hasilnya memang tidak seberapa banyak namun cukup untuk pelengkap ladang dan sedikit penambah persediaan pangan. Jenis biji-bijian yang merupakan kelompok makanan pokok, kendati sejak dahulu tidaklah popular, adalah pega. Patut disayangkan pula karena tanaman ini juga sudah menghilang di banyak ladang rakyat. Komunitas peladang Lio-Ende juga kaya dengan warisan kacang-kacangan, baik dijadikan sebagai bahan pencampur jagung, nasi, dan sorgum maupun ada jenis untuk bahan sayuran. Menurut informasi yang digali "'melalui wawancara, sejumlah jenis kacang-kacangan, termasuk nggoli, dhomba, dan fesa, mulai menghilang dari perladangan. Selain jenis tanaman penghasil biji-bijian untuk dimakan, utamanya padi yang tentunya dalam konteks ini padi ladang asli, jagung dan sorgum yang masing-masing dengan sejumlah varietasnya, ada pula jenis pangan yang berasal dari umbi-umbian. Ubikayu, (singkong, ketela pohon) atau di Lio-Ende disebut uwikaju, memang tanaman rakyat yang sangat umum di manapun. Akan tetapi, peladang Lio-Ende juga telah lama dan berpengalaman membudidayakan sejumlah varietas ubikayu, baik karena hasil persilangan lokal maupun hasil persilangan dengan ubi dari luar seperti uwikaju bogo (berasal dari Bogor ). Jikalau di Nuabosi, Ende, yang karena tekstur tanah dan iklimnya menghasilkan jenis ubikayu unggul karena kelezatannya, di sejumlah lokasi ladang di Lio pun ditemukan sejenis ubikayu yang tidak kalah pula lezatnya. Aneka pisang juga merupakan khazanah tanaman perladangan setempat. Cukup banyak jenis pisang, dengan branga (seperti juga brangan di Medan dan Toraja kendati beda citarasanya) sebagai primadona. Pisang atau muku dalam bahasa Lio-Ende juga banyak jenisnya. Ada muku branga, muku ma, muku pundi, muku lela, muku api mera, muku api meta, muku susu, muku ae, muku bela, muku jambo, muku raja, muku pusu iwa, muku telo, muku fole, muku sosa, muku penggi (batangnya dapat dijadikan sayur atau lojo). Sa'o Pu'u 'Rumah Adat' sebagai Pusat Kebudayaan Lokal Sesuai dengan nama yang disandang yakni rumah adat atau dalam bahasa Lio-Ende diwadahkan dalam istilah- istilah: Sa'o Pu'u, Sa'o Ria, Sa'o Ria Tenda Bewa, memang merupakan pusat kebudayaan, dalam konteks ini jelaslah kebudayaan lokal Lio-Ende. Memang benar bahwa sebagian besar ritual dalam lingkaran hidup perladangan berlokasi juga di luar rumah adat, bahkan juga di luar kampung. Ritual wira barajawa (atejawa, 'mencabik kulit jagung muda'), bagi komunitas Golulada, Detusoko misalnya, juga dilaksanakan di salah satu lokasi di kampung. Demikian pula sejumlah ritual lainnya dalam lingkaran kegiatan perladangan komunitas peladang Lio-Ende terjadi atau terlaksana di luar Sa'o Pu'u. Akan tetapi, semua ritual baik ritual dalam lingkaran kehidupan manusia maupun dalam lingkaran kehidupan perladangan tradisional selalu berpusat pada rumah adat, berawal dari Sa'o Pu.'u, dari Sa'oria Tendabewa. Konsep sa'o pu'u saja sudah mengandung makna konotasi bahwa segala rencana, kesepakatan, putusan, rancangan, bahkan gagasan baru saja pun selalu berawal dari sa'o pu'u. Sebab, sebagaimana tradisi terwariskan, untuk menentukan waktu, nelu, pelaksanaan ritual apa pun seperti: ngeti uma, pesa uta, mbama, mi are, jokaju, kapena, ru'e (h)kibi, secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o pu'u, diprakarsai oleh mosalaki pu'u sebagai pemimpin dan tetua adat inti, juga sebagai sulung dalam keluarga atau klen (clan) itu. la memulai dengan mengundang mosalaki, tukesani, dan aparat adat lainnya yang terkait dengan jenis ritual itu. Di sa'o pu'u pula mereka bermusyawarah, berembug, memutuskan, dan mengumumkannya kepada khalayak. Untuk musyawarah besar, kompleks sa'o pu'u, dalam hal ini keda digunakan untuk persidangan tersebut. Sa'o pu'u adalah juga pusat kebudayaan pula berkaitan dengan sejumlah aktivitas dan aktualitas nilai-nilai budaya. Seperti telah disinggung di atas, kegiatan nelu yakni musyawarah dan mufakat untuk menentukan waktu ritual, atau juga so bhoka au, yang tentunya berlaku Untuk seluruh peladang dan kerabat dalam wilayah tanah persekutuan tertentu dilakukan di kompleks sa’o pu’u. pertemuan atau rapat adat resmi itu dipimpin oleh mosalaki pu’u, atau ria bewa, atau oleh sejumlah penguasa inti dalam struktur lembaga mosalaki. Biasanya, mosalaki pu’u memohon izin atau mea nosi terlebih dahulu kepada leluhur mereka seraya mempersembahkan rokok asli (mbako wolo) dalam jumlah tertentu, juga arak asli dengan wadah asli pula, atau juga makanan bagi leluhur mereka. Permohonan itu dituturkan dengan bahasa waga, ungkapan paralelisme sesuai dengan tujuan ritual dan dilakukan di sudut kanan rumah adat dan di depan Du’a Bapu. Dalam situasi dan hal yang berbeda, di sa’o pu’u pula warga pisah kekerabatan, baik dari keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan (ana embu) berkomunikasi dan memohon doa restu leluhur, bahkan juga berkomunikasi dengan kekuatan dan kekuasaan adikodrati (supernatural), yang masyarakat Lio-Ende menyapanya sebagai Du’a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana. Menjelang perang untuk mempertahankan harta warisan atau menyelesaikan sengketa apapun, dengan kerabat atau pihak luar, memohon restu di sa’o pu’u merupakan adat dan tradisi.
Sa’o pu’u ataupun sa’oria tenda bewa pula yang menjadi pengayom dan pelindung, tidak saja dalam konteks bencana secara fisik maupun secara nonfisik. Bagi Orang Lio-Ende, sa’o pu’u adalah simbol yang menyatukan mereka, wadah yang mendekatkan mereka, lokasi yang memulihkan kembali kohesivitas mereka dari kekuatan pemecah belah. Sa'o pu'u adalah wadah yang mendamaikan kembali kekerabatan berkenaan dengan konflik internal, baik harta warisan maupun lahan garapan karena dalam suasana kekeluargaan saat berkumpul, terlebih dalam suasana ritual dan sakral, tuturan dan batuna'u, doa mereka dengan energi ragam bahasa waga berpola paralelisme semantik dihadirkan dan diandalkan. Di sana pula jatidiri mereka dibangun dan dipulihkan sesuai dengan amanat leluhur mereka. Keharmonisan hubungan internal dipulihkan dari silang sengketa dan konflik. Di sa'o pu'u pula kesadaran asal muasal (genetic awarrenes) atau mbe'o pu'u kamu disegarkan kembali. Di sa'o pu'u pula mereka memohon kekuatan dalam menghadapi aneka sengketa eksternal dengan pihak lain berkaitan dengan tanah warisan.
Betapa penting, strategis, dan sentralnya sa'o pu'u atau juga sa'oria tenda bewa, bagi masyarakat Lio-Ende. Keberadaannya menjadi pusat orientasi tidak saja demi kehidupan yang ragawi dan sosial, misalnya sehubungan dengan penegakan keadilan internal soal warisan lahan garapan dan harta lainnya. Sa'o pu'u sebagai pusat kebudayaan adalah juga orientasi hidup yang rohaniah karena seperti yang diuraikan di atas, di sana pula mereka mengalunkan dan bertutur tentang amanat-amanat leluhur mereka yang harus mereka pedomani dan patuhi dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun kelompok. Lebih daripada itu, justru di sa'o pu'u pula mereka menjalin dan merakit kembali keserasian relasi yang transcendental dengan dengan Sang Khalik, dengan Du'a Ngga'e, Du'a eo gheta lulu wula, Ngga'e eo ghale wena tana, dan hubungan itu ditandai secara ragawi dengan hadirnya wulaleja di sudut kanan depan rumah hingga ke atap. Itu pula landasan filosofis sehingga banyak sa'o pu'u menjadi keramat, magis, dan sakral, bhisa gia. Sa'o pu'u adalah lambang dan sarana pemersatu, lambang kekuatan rohani, kebanggaan jiwa kekerabatan, penanda keberadaan klen (clan) tertentu yang disebut Tuka kunu, Wewa, Kunu Woe, (mirip dengan wa'u, di Ngada, dan woe dalam rnasyarakat etnik Manggarai dengan mbaru gendang sebagai pusat orientasi mereka). Sebagai pemulih dan penyatu (kembali) keluarga besar, karena pemulihan dan perbaikan (rehabilitasi), pemugaran, apalagi pembangunan kembali secara utuh sa'opu'u, justru disyaratkan melalui musyawarah internal garis pria dan sulung, untuk disepakati, dan kemudian ditetapkan bersama-sama oleh semua anggota kerabat. Kemudian, dalam pelaksanaannya pun sangat diprasyaratkan adanya kebersamaan, kesatuan, dan kekompakan. Itulah secara singkat fungsi dan makna sosial-kultural sa'o pu'u, sa'oria tenda bewa.
Penting dan sentralnya kedudukan dan keberadaan sa'o pu'u, memang disadari oleh semua orang. Akan tetapi, betapa terancamnya keutuhan hidup suatu klen (clan) atau keluarga besar (kunu woe/kunuwuru), jikalau secara ragawi dan nyata keluarga besar atau suatu klen (clan) itu tidak lagi memiliki sa'o pu'u karena rusak, tidak terurus, dan tidak terpelihara. Kerusakan atau kepunahan sa'o pu'u adalah pratanda kerusakan kekohesivan (desintegrasi), kesatuan, kebersamaan, relasi kekerabatan, baik dalam dimensi horizontal dengan aji-ana, faiwai walu ana (h)kalo, maupun dimensi vertikal dengan leluhur dan Du'a Ngga'e. Gejala dan sumber konflik intrakekerabatan, bahkan juga dengan pihak luar, secara kultural bagi Orang Lio-Ende, senantiasa dikaitkan dengan keutuhan, keberadaan, dan fungsi sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.

Cerita dari Kabupaten Ngada

WATU RERE
kisah dari So'a-Flores (Kab. Ngada)
Watu Rere adalah seorang perempuan. Waktu itu semua nona-nona di alam kampung berkumpul untuk pergi bekerja berkelompok. Dalam kelompok itu (untuk) bekerja kebun, mereka setuju : "Kalau orang lain pergi bekerja kebun, bekerja sewa, kita membawa nasi sayur".
Demikian juga kalau bekerja bergiliran (dengan) teman baik.
Waktu mereka akan bekerja untuk upah, mereka selalu membawa nasi, sayur dan santan kelapa.
Tetapi kalau bekerja sewa untuk Watu Rere, dia hanya membawa nasi jali dan sayur jelek.
Ketika si Watu Rere minta kepada mama dan bapak, kakak dan adik, maka mama dan bapak hanya memandang saja.
Apabila hasil oanenan berlimpah ruah, lalu dihantar dan disimpan di dalam rumah, maka segenap keluarga akan menikmati. Kalau dia memanggil (kelompok itu) untuk pergi ke kebun, si Watu Rere selalu hanya membawa makanan yang sama seperti setiap kali (yaitu) nasi jali dan sayur jelek.
Teman-temannya tidak marah," Sudahlah, teman bawa saja nasi jali yang baik, asal jangan mabuk."
Tetapi Watu Rere sangat susah hati.
"Apabila teman-teman membawa nasi beras dan sayur santan kelapa (biar) saya menarik diri saja".
Karena malu (karena) mama dan bapak tidak memberi (makanan yang baik" ia lalu meratap.

Watu Rere, Watu Rere
tanya mama, tanya bapak
tanya kakak, tanya adik
Watu Rere

Watu rere meratap, duduk di atas batu Loka Kedhu di sebelah atas. Biar teman-temannya menegur "O teman, jangan meratap, teman! Bawa nasi yang begitu, tidak apa-apa toh?" tetapi si Watu rere meratap terus saja.
Pada haru yang keenam, datanglah seorang laki-laki bernama Rere Wula, dia bertanya, "Kau menangisi apa?" Watu Rere menjawab "Saya ini menangis karena mama - bapak menolak saya, mengusir saya."
Katakan, bagaimana saya mau minta nasi untuk pergi kerja berkelompok dengan teman-teman. Mereka tidak memberi. Sekarang saya malu, saya menangis.
Pria itu menjawab, "Baiklah!" Sesudah itu laki-laki itu menghilang saja. Dia (Watu Rere) berbicara dalam dirinya, "Pemuda langit bernama Rere Wula"
Si Watu Rere terus saja merapat tetapi batu itu makin naik ke atas. Biar teman-temannya mengatakan: "Jangan, teman, kembali saja," tetapi dia tidak mau.
Sesampai di langit, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Semua bapak mertua, mama mertua menyalami Watu Rere.
"O, selamat pagi anak mantu, semuanya menyenangkan sekali".
Rere Wula sudah lebih dulu tiba. Waktu sudah seminggu, orang dari sini mengantar (Watu Lele) sampai ke langit. Semua orang di atas langit, mama, bapakmeretuanya, lalu menyiapkan belis, demuanya genanp. Kerbau, rantai emas, kambing dan domba, anjing, ayam dan kuda.
Sesudah itu Watu Rere bersama suaminya Rere Wula meluai turun mengantar belis.
Pintu langit terbuka, pada batu tadi akan terkumpul semua kerbau dan belis untuk datang mengantar kepada bapak dan saudara-saudaranya di bawah di bumi.
Sesudah itu Watu Rere bersama suaminya Rere Wula mulai turun mengantar belis.
Pintu langit terbuka (pada) batu tadi akan terkumpul semua kerbau (dan) belis (untuk) datang mengantarnya kepada bapak dan saudara-saudaranya di bawah bumi.
Setelah itu bapak dan saudara-saudaranya memberi "me'a".
Mulai makan-minum habis dulu (hewan) yang dibunuh tadi, lalu mengenakan (Watu Re'e itu) dengan macam-macam kain adat.
Mereka pulang kembali lewat watu itu, terus pulang lagi ke kampungnya di langit setelah mengantar belis.
Cerita ini dari orang Seso. Wate Re'e adalah gadis Seso. Pemuda langit namanya Rere Wula.
Sejak saat itu hingga sekarang kerbau dan kuda mulai berkembang di So'a.

Cerita rakyat kab. Sikka

JONG DOBO
Asal mula dan asal dari Jong Dobo menyatu dalam syair adat yang dikenal dalam bahasa Sikka dengan sebutan Kleteng Latar yaitu prosa liris paralel. Yang merupakan legenda tentang terjadinya dan asal mula Jong Dobo. Muatan syair merupakan suatu legenda dari pada mitos, dalam arti yang menonjol ialah pribadi – pribadi historis entah riil atau yang dibayangkan. Umumnya syair adat berisikan tentang asal usul keluarga dan kampung.
Nama lengkap kampong Dobo adalah Dobo Dora Nata Ulu yang artinya Puncak Dobo Kampung Pertama. Beberapa kampong yang terletak tak jauh dari kampong itu adalah Bao Batung, Uma Moro, Piring. Namun Dobo itu adalah nama bukit daerah itu. Tinggi puncak itu adalah 810 m di atas permukaan laut. Dan daerah sekitarnya seluas 360 ha, pada tahun 1932 oleh pemerintah Belanda dijadikan hutan lingdung. Dari segi administratif pemerintahan, kampung ini adalah bagian dari desa Ian Tena, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka.
Di kampung itu tersimpan sebuah Artefak yang diberi nama dengan kampung itu sendiri, yaitu Jong Dobo. Jong adalah kata bahasa Sikka untuk perahu atau kapal. Sebagaimana diketahui Jong juga nama jawa atau melayu untuk kapal – kapal besar yang terbuat dari kayu yang mempunyai arti khusus dalam bahasa Sikka. Masyarakat Sikka juga mengenal satu nama lain untuk artefak ini yaitu Jong Gelang. Gelang adalah kata bahasa Sikka untuk perunggu.
Selain artefak, terdapat juga peralatan Megalithis yaitu dua buah Batu Mahe atau Watu Mahe adalah batu berbentuk Dolmen dan Menhir yang dipasang di tengah kampung. Batu Mahe dibagi dalam dua macam yaitu Mahe Gete (besar), dan Mahe Ketik (kecil), Mahe Besar dibangun di suatu pelataran di tengah kampung dan menjadi sentrum pemujaan komunitas.
Menurut Etnologi, Theodor Verhoeven SVD yang banyak melakukan penyelidikan kepurbakalaan di Flores dan juga adalah pendiri Museum Blikon Blewut di Seminari Tinggi St. Petrus Ledalero mengatakan bahwa perahu ini berasal dari zaman Dongson.
Kebudayaan Dongson yang menjadi asal dari Jong Dobo ini awalnya berkembang di Vietnam Utara dan Cina Selatan pada tahun 500 – 300 sm. Penelitian – penelitian kepurbakalaan memperlihatkan bahwa kebanyakan artefak – artefak metal yang paling awal yang terbesar di gugusan kepulauan Indonesia dan Malaysia adalah tipe Dongson dan perahu perunggu setara besi sudah digunakan di Indonesia pada tahun 500 sm.
Adapun syair adat tentang asal mula Jong Dobo adalah sebagai berikut :
Soge ata Numba
Soge jong gelang reta
Jong gelang reta
Beli uran nora dara
Poto watu ia Dobo
Poa inga ia Dobo
Inga ia Dobo
Jong baler dadi gelang Orang soge dari Numba
Yang mengkeramatkan jong gelang oti
Jong gelang itu
Menurunkan hujan dan panas
Mengangkat jangkar di Dobo
Mereka kesiangan di sana
Kesiangan di Dobo
Kapal itu berubah menjadi gelang